Semua Tentang Aceh Barat

apa yang saya lihat, Dengar dan rasakan di Aceh Barat

  • Blog Stats

    • 8.271 hits
  • April 2009
    R K J S M S S
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    2930  
  • Arsip

  • Flickr Photos

Sistem Pemerintahan Aceh Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2006

Posted by khairulrazi pada 29 April 2009

Pada tanggal 26 Desember 2004 di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam terjadi bencana besar gempa bumi dan gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari dua ratus ribu korban jiwa. Momentum ini kemudian dijadikan sebagai awal untuk melakukan kembali perundingan antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia yang diketuai oleh Menteri Hukum dan HAM. Hamid Awaluddin, sedangkan dari pihak GAM diketuai oleh Malik Mahmud bertempat di Helsinki, Finlandia. Meskipun di dalam negeri sempat terjadinya pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah yang mau melakukan perundingan dengan pihak “separatis”, namun demikian perundingan tetap dilakukan.
Amien Rais menilai bahwa pokok nota kesepahaman yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan GAM “keblablasan” karena terlalu luas cakupan bidangnya dan menempatkan GAM sebagai satu-satunya pihak yang mewakili kepentingan seluruh masa depan rakyat Aceh yang beragam. Amien melihat penandatanganan nota kesepahaman pada 15 Agusutus 2005 dengan pokok yang dinilainya belum matang dipikirkan, diibaratkannya seperti sopir bus yang mengejar setoran. Diibaratkan pertandingan tinju, di ronde pertama penandatangan MoU, GAM menang angka telak.
Di sisi lain, sejumlah anggota Komisi III DPR menyatakan dukungan dan penghargaan mereka terhadap upaya pemerintah dalam menciptakan perdamaian di Aceh melalui MoU Helsinki, Finlandia tersebut. Namun mereka menyatakan tetap akan mengkritisi dalam rangka mengawasi pelaksanaan MoU itu di tingkat implementasi. Dukungan itu antara lain dikemukakan anggota Komisi III dari FPKB, Nursyahbani Katjasungkana dan Patrialis Akbar dari Fraksi PAN pada Raker dengan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Gedung DPR Republik Indonesia.
Pada perundingan yang dilaksanakan di Hesinki, Finlandia tersebut mengalami beberapa perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan perundingan-perundingan sebelumnya. Meskipun sempat mengalami perdebatan yang alot dan panjang, namun kedua belah pihak dalam perundingan ini saling menghargai kekurangan-kekurangan yang ada.
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut, yang akan memungkinkan pembangunan kembali aceh pasca tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dilaksanakan di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI). Perjanjian ini merupakan sebagai starting poin awal untuk membangun Aceh pasca tsunami serta menjadi landasan awal untuk membangun perdamaian serta ketentraman bagi masyarakat Aceh.
Perjanjian antara RI dengan GAM kemudian diimplementasikan dalam bentuk produk perundang-undangan yang disusun berdasarkan MoU sebagai landasannya. Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, menuai kontroversial di Indonesia. Pro dan kontra pun terjadi, sebagian pakar politik menilai bahwa perjanjian tersebut telah menghancurkan martabat bangsa Indonesia karena kemauan untuk berunding dengan separatis GAM yang hendak merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun sebagian lagi menilai bahwa perundingan adalah suatu keharusan demi membangun Aceh kedepan pasca hancurnya Aceh akibat gelombang tsunami. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi akan terhambat apabila situasi Aceh dalam keadaan konflik. Atas landasan demikian serta kemauan untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, Pemerintah Indonesia bersedia kembali melakukan perundingan dan penandatanganan MoU pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Pemerintah Indonesia mampu meyakinkan rakyat bahwa MoU yang ditandatangani tersebut berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai bentuk implementasi dari MoU, Pemerintah dan Legislatif akan membuat undang-undang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Tugas dan tanggung jawab ini harus dijalankan sebagai realisasi komitmen perjanjian antara kedua belah pihak. “undang-undang baru tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006”.
Setelah penandatanganan tersebut, Pemerintah selanjutnya membuat Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Oleh karena banyaknya partisipan sehingga banyak draf rancangan yang masuk kemudian dibahas di Departemen Dalam Negeri. Meskipun sempat terjadi ketegangan antara pusat dan daerah karena pemotongan beberapa pasal yang diajukan dalam draf DPRD NAD, sehingga menyebabkan kemoloran waktu pengesahan. Menurut MoU pengesahan semestinya paling lambat tanggal 31 Maret 2006, tetapi kenyataannya Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh disahkan pada September 2006.
Undang-undang Pemerintahan Aceh yang telah disahkan tersebut mendapat taggapan dan respon dari berbagai masyarakat nasional. Dengan disahkan undang-undang tersebut berarti pemerintahan yang dijalankan harus sesuai dengan aturannya yakni undang-undang. Undang-undang Pemerintahan Aceh yang telah disahkan, merupakan salah satu perkembangan demokrasi di daerah karena sifatnya yang tidak sentralistik. Terjadi perubahan sistem pemerintahan setelah munculnya Undang-Undang ini. Infrastruktur baru dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh bermunculan. Dengan adanya undang-undang yang memberikan status sebagai otonomi khusus bagi Aceh ini, telah terjadi perubahan secara mendasar tentang pola penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Dalam rangka itulah kami bermaksud untuk melakukan penelitian yang berjudul : “Sistem Pemerintahan Aceh Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2006 (Studi Tentang Kekuasaan Gubernur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di NAD)”

5 Tanggapan to “Sistem Pemerintahan Aceh Menurut Undang-Undang No.11 Tahun 2006”

  1. terima kasih infonya

  2. TERIMAKASIH ATAS INFORMASI DAN TULISANNYA, CUKUP BERMANFAAT BUAT BACAAN/REFRENSI UNTUK REGENERASI. KUNJUNGI JUGA SEMUA TENTANG PAKPAK DAN UPDATE BERITA-BERITA DARI KABUPATEN PAKPAK BHARAT DI GETA_PAKPAK.COM http://boeangsaoet.wordpress.com

  3. agam beko said

    info pengumuman cpns pemda nad 2010 lihat adisini
    http://yahho.wordpress.com/

  4. Silakan kunjungi blog sehat di http://www.cintamakhlukvegan.wordpress.com/

  5. dedi said

    thankz,
    yg saya ingin ketahui, apakah suatu daerah mempunyai undang-undang

Tinggalkan komentar